MARAH
Seseorang yang marah karena perkara-perkara dunia, maka kemarahan seperti
ini tercela.
Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati seseorang dengan berulang-ulang supaya tidak marah.
Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati seseorang dengan berulang-ulang supaya tidak marah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ
مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,“Berilah wasiat kepadaku.” Nabi menjawab,“Janganlah engkau marah.” Laki-laki tadi mengulangi perkataannya berulang kali, beliau (tetap) bersabda,“Janganlah engkau marah.” [HR Bukhari no. 6116]
Maka jika seseorang ditimpa kemarahan, jangan sampai kemarahan itu menguasai dirinya. Karena jika telah dikuasai oleh kemarahan, maka kemarahan itu bisa menjadi pengendali yang akan memerintah dan melarang kepada dirinya!
Janganlah melampiaskan kemarahan. Karena kemarahan itu sering menyeret kepada perkara yang haram. Seperti : mencaci, menghina, menuduh, berkata keji, dan perkataan haram lainnya. Atau memukul, menendang, membunuh, dan perbuatan lainnya.
Tetapi hendaklah mengendalikan diri dan emosinya agar tidak melampiaskan kemarahan, sehingga keburukan kemarahan itu akan hilang. Bahkan kemarahan akan segera reda dan hilang. Seolah-olah tadi tidak marah. Sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah dan Rasul Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي
السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali Imran : 133-134]
Juga firmanNya,
فَمَآأُوتِيتُم مِّن شَىْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَاعِندَ اللهِ
خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَآئِرَ اْلإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا
مَاغَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ
Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi ma'af. [Asy Syura : 36-37].
Demikian juga orang yang mampu mengendalikan emosinya itu dipuji oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dijanjikan dengan bidadari surga.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … فَمَا تَعُدُّونَ الصُّرَعَةَ فِيكُمْ قَالَ قُلْنَا
الَّذِي لَا يَصْرَعُهُ الرِّجَالُ قَالَ لَيْسَ بِذَلِكَ وَلَكِنَّهُ الَّذِي
يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Siapakah yang kamu anggap sebagai shura’ah (orang kuat, jago gulat, orang yang banyak membanting orang lain)?” Kami menjawab,“Seseorang yang tidak dapat dijatuhkan oleh orang lain.” Beliau bersabda,“Bukan itu, tetapi shura’ah yaitu orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah.” [HR Muslim no. 2608].
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ
اللَّهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ
Barangsiapa menahan kemarahan, padahal mampu melampiaskannya, niscaya pada hari kiamat Allah ‘Azza Wa Jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, sehingga Allah memberinya hak memilih di antara bidadari surga yang dia kehendaki.
Untuk mengatasi kemarahan yang menimpa seseorang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan resep-resep pengendaliannya. Dapat kami sebutkan secara ringkas.
GHIBAH
Sesungguhnya lisan merupakan organ tubuh yang sangat penting
karena ialah yang menta’bir (mengungkapkan) apa yang terdapat dalam hati
seseorang. Lisan tidak mengenal lelah dan tidak pernah bosan berucap, jika
seseorang membiarkannya bergerak mengucapkan kebaikan maka ia akan memperoleh
kebaikan yang banyak, adapun jika ia membiarkannya mengucapkan
keburukan-keburukan maka ia akan ditimpa dengan bencana dan malapetaka, dan
inilah yang lebih banyak terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda
أكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ
Mayoritas
dosa seorang anak Adam adalah pada lisannya[1]
Oleh
karena itu lisan merupakan salah satu sebab yang paling banyak menjerumuskan
umat manusia ke dalam api neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ
Yang
paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan
kemaluan.[2]
Sesungguhnya penyakit-penyakit yang timbul karena lisan yang tidak
terkendali sangatlah banyak, namun di sana ada sebuah penyakit yang paling
merajalela dan menjangkiti kaum muslimin. Penyakit tersebut terasa sangat
ringan di mulut, lezat untuk diucapkan, dan nikmat untuk didengarkan[3] (bagi
orang-orang yang jiwa mereka telah terasuki hawa syaitan), namun dosanya
sangatlah besar….penyakit tersebut adalah ghibah (menyebut kejelekan saudara
sesama muslim)[4]
Betapa banyak persahabatan dua sahabat karib yang akhirnya
terputus karena diakibatkan ghibah…???
Betapa banyak kedengkian yang tumbuh dan berkobar di dada-dada
kaum muslimin dikarenakan ghibah…???
Betapa banyak permusuhan terjadi diantara kaum muslimin
diakibatkan sebuah kalimat ghibah…???
Dan betapa banyak pahala amalan seseorang yang sia-sia dan gugur
diakibatkan oleh ghibah yang dilakukannya…???
Serta
betapa banyak orang yang disiksa dengan siksaan yang pedih dikarena ghibah yang
dilakukannya…???
Namun perkaranya adalah sangat menyedihkan sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi, “Ketahuilah bahwasanya ghibah merupakan perkara yang terburuk dan terjelek serta perkara yang paling tersebar di kalangan manusia, sampai-sampai tidaklah ada yang selamat dari ghibah kecuali hanya sedikit orang”.[5] -Semoga Allah menjadikan kita menjadi “sedikit orang” tersebut yang selamat dari penyakit ghibah. Amiiin-
Namun perkaranya adalah sangat menyedihkan sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi, “Ketahuilah bahwasanya ghibah merupakan perkara yang terburuk dan terjelek serta perkara yang paling tersebar di kalangan manusia, sampai-sampai tidaklah ada yang selamat dari ghibah kecuali hanya sedikit orang”.[5] -Semoga Allah menjadikan kita menjadi “sedikit orang” tersebut yang selamat dari penyakit ghibah. Amiiin-
Banyak kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah
ta’ala dengan baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khomer,
bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis,
namun…..mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun
mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar namun
tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah
Berkata Ibnul Qoyyim, “Dan merupakan perkara yang aneh adalah
mudah bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari memakan makanan yang haram,
menjauhkan dirinya dari perbuatan dzolim, zina, mencuri, memimum minuman keras,
memandang pada perkara-perkara yang diharamkan baginya, dan perkara-perkara
haram yang lainnya, namun sulit baginya untuk menjaga gerak-gerik lisannya.
Sampai-sampai ada diketahui orang yang terpandang dan merupakan contoh dalam
permasalahan agama, zuhud, dan ibadah, namun ia mengucapkan sebuah kalimat yang
menyebabkan kemurkaan Allah dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut
sehingga iapun terperosok ke neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan
barat hanya dikarenakan satu kalimat. Betapa banyak orang yang engkau lihat
bersikap wara’ dalam menjauhi perbuatan-perbuatan keji, perbuatan dzolim namun
lisannya ceplas-ceplos menjatuhkan harga diri orang-orang yang masih hidup
maupun yang telah wafat dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut.”[6]
Berkata Al-Ghozaali, “Dan sebagian mereka berkata, “Kami mendapati
para salaf, dan mereka tidaklah memandang sebuah ibadah (yang hakiki) pada
puasa dan tidak juga pada sholat, akan tetapi mereka memandangnya pada sikap
menahan diri dari (melecehkan) harkat dan harga diri manusia”[7]
Sebagian orang yang dikenal berpegang teguh dengan sunnah dan
berdakwah menyeru kepada sunnah, serta memiliki semangat untuk membantah ahlul
bid’ah –yang hal ini merupakan perkara yang sangat dituntut dalam syariat-
namun yang sangat disayangkan, mereka tatkala terbiasa membantah ahlul bid’ah
dan membicarakan kejelekan-kejelekan mereka, akhirnya terbiasa pula dengan
bergihbah ria membicarakan kejelekan-kejelekan saudara-saudara mereka sendiri
sesama ahlus sunnah. Sebagaimana perkara mengghibah ahlul bid’ah merupakan hal
yang biasa akhirnya menggibah saudara-saudara merekapun sesama ahlus sunnah
menjadi hal yang lumrah dan biasa, seakan-akan bukanlah sesuatu yang berbahaya.
Mereka lupa bahwa mengghibah ahlul bid’ah merupakan rukhsoh yang diberikan oleh
syari’at karena ada kemaslahatan yang diperoleh dan itupun harus sesuai dengan
kaidah-kaidah syari’at, dan hal ini tidaklah bisa disamakan dengan mengghibah
sesama Ahlus sunnah.
Oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan bahaya penyakit
ini dan hukum-hukum seputar penyakit ini untuk mengingatkan penulis pribadi
akan bahaya ghibah dan juga mengingatkan para saudaraku kaum muslimin.
Allah ta’ala benar-benar telah mencela penyakit ghibah dan telah
menggambarkan orang yang berbuat ghibah dengan gambaran yang sangat hina dan
jijik. Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di : “Kemudian Allah ta’ala menyebutkan suatu
permisalan yang membuat (seseorang) lari dari gibah. Allah ta’ala berfirman :
}وَلاَ يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ{
Dan
janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang
dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian
membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima
taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)
Allah ta’ala telah menyamakan mengghibahi saudara kita dengan
memakan daging saudara (yang digibahi tadi) yang telah menjadi bangkai yang
(hal ini) sangat dibenci oleh jiwa-jiwa manusia sepuncak-puncaknya kebencian.
Sebagaimana kalian membenci memakan dagingnya -apalagi dalam keadaan bangkai,
tidak bernyawa- maka demikian pula hendaklah kalian membenci mengghibahinya dan
memakan dagingnya dalam keadaan hidup”.[8] Memakan bangkai hewan yang sudah
busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging
saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu:
عنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى بَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأََ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)
Dari
Qois berkata : ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu melewati bangkai seekor
begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata :”Demi Allah,
salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya)
lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)”[9].
Syaikh Salim Al-Hilaly berkata : “..Sesungguhnya memakan daging manusia
merupakan sesuatu yang paling menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at
walaupun (yang dimakan tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan,
bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah) saudara engkau seagama ?,
sesungguhnya rasa kebencian dan jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah
lagi jika dalam keadaan bangkai? karena sesungguhnya makanan yang baik dan
halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi bangkai…” [10]
Definisi ghibah
Definisi ghibah
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِصلى الله عليه و سلم قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari
Abu Huroiroh radliyallahu ‘anhu bahwsanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : Tahukah kalian apakah ghibah itu? Sahabat menjawab : Allah
dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya : Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang
benar ada padanya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kalau memang
sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau
sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.[11]
Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu:
عَنْ حَمَّاد عَنْ إبْرَاهِيْمَ قَالَ : كَانَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ tيَقُوْلُ : الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ. وَإِذَا قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ الْبُهْتَانُ
Dari
Hammad dari Ibrohim berkata : Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata :”Ghibah
adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau
mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan” [12]
Dari hadits ini para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
ghibah adalah :”Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang
seandainya dia tahu maka dia akan membencinya”. Dan hadits ini umum mencakup
apa saja yang dibenci oleh saudaramu[13]. Sama saja apakah yang engkau sebutkan
adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau
perbuatannya atau pada agamanya atau pada masalah duniawinya, tentang anaknya,
saudaranya, atau istrinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia
dalam keadaan dia goib (tidak hadir). Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Ghibah
adalah menyebutkan aib (saudaramu) dan dia dalam keadaan goib (tidak hadir
dihadapan engkau), oleh karena itu saudaramu) yang goib tersebut disamakan
dengan mayat, karena si goib tidak mampu untuk membela dirinya. Dan demikian
pula mayat tidak mengetahui bahwa daging tubuhnya dimakan sebagaimana si goib
juga tidak mengetahui gibah yang telah dilakukan oleh orang yang mengghibahinya
”[14].
Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya
engkau berkata pada saudaramu itu : “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”,
“Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”,
“Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring
sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.
عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً فَقَالَتْ :إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ….فَقَالَ النَّبِيُّ r: اِغْتَبْتِيْهَا
Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah)
menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata :”Sesungguhnya dia
(wanita tersebut) pendek”….maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Engkau telah mengghibahi
wanita tersebut” [15]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلمحَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَا قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ : تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ : لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.
Dari ‘Aisyah beliau berkata : Aku berkata kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi
berkata :”’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata :”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya
kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya” [16]
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ : ذَكَرَ ابْنُ سِيْرِيْنَ رَجُلاً فَقَألَ : ذَاكَ الرَّجُلُ الأَسْوَدُ. ثُمَّ قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللهَ, إِنِّيْ أَرَانِيْ قَدِ اغْتَبْتُهُ
Dari Jarir bin Hazim berkata : Ibnu Sirin menyebutkan seorang
laki-laki kemudian dia berkata :”Dia lelaki yang hitam”. Kemudian dia berkata
:”Aku mohon ampunan dari Allah”, sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah
mengghibahi laki-laki itu”[17]
Ibnu Sirin pernah berkata, “Jika seseorang benci jika engkau
berkata kepadanya, “Rambutmu keriting” maka janganlah engkau menyebutkan hal
itu”[18]
Adapun pada nasab misalnya engkau berkata :”Dia dari keturunan
orang rendahan”, “Dia keturunan maling”, “Dia keturunan pezina”, “Bapaknya
orang fasik”, dan lain-lain. Adapun pada akhlaknya, misalnya engkau berkata
:”Dia akhlaqnya jelek…orang yang pelit”, “Dia sombong, tukang cari muka (cari
perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu orangnya lemah”, “Dia itu hatinya lemah”,
“Dia itu tempramental”.
Adapun pada agamanya, misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”, “Dia
pendusta”, “Dia peminum khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yang dzolim,
tidak mengeluarkan zakat”, “Dia tidak membaguskan sujud dan ruku’ kalau
sholat”, “Dia tidak berbakti kepada orang tua”, dan lain-lain. Dan menggibahi
seseorang dengan menyebutkan perkara-perkara yang berkaitan dengan agamanya
merupakan ghibah yang sangat keji.
Berkata Al-Qurthubhi, “..Para ulama sejak masa awal dari kalangan
para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in setelah
mereka, tidak ada ghibah yang lebih parah menurut mereka dari ghibah yang
berkaitan dengan agama (seseorang), karena aib yang berkaitan dengan agama
merupakan aib yang terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung
kejelekan agamanya daripada jika disinggung (cacat) tubunya”[19]
Adapun pada perbuatannya yang menyangkut keduniaan, misalnya
engkau berkata : “Tukang makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak
ihtirom kepada manusia”, “Tidak memperhatikan orang lain”, “Jorok”, “Si fulan
lebih baik dari pada dia” dan lain-lain.
Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid berkata
:Telah menyampaikan kepada kami Touf bin Wahbin, dia berkata : “Aku menemui
Muhammad bin Sirin dan aku dalam keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata
:”Aku melihat engkau sedang sakit”, aku berkata :”Benar”. Maka dia berkata
:”Pergilah ke tabib fulan, mintalah resep kepadanya”, (tetapi) kemudian dia
berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang lain) karena dia lebih baik dari pada
si fulan (tabib yang pertama)”. Kemudian dia berkata : “Aku mohon ampun kepada
Allah, menurutku aku telah mengghibahi dia (tabib yang pertama)”. [20]
Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya
berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan
pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan
seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam
suatu hadits :
قَالَتْ : وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا
‘Aisyah berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang
(walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian” [21]
Termasuk ghibah yaitu seorang penulis menyebutkan seseorang
tertentu dalam kitabnya seraya berkata :”Si fulan telah berkata
demikian-demikian”, dengan tujuan untuk merendahkan dan mencelanya. Maka hal
ini adalah harom. Jika si penulis menghendaki untuk menjelaskan kesalahan orang
tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan lemahnya ilmu orang
tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan menerima pendapatnya
(karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang ‘alim –pent), maka hal
ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat yang wajib yang mendatangkan
pahala jika dia berniat demikian.
Demikian pula jika seorang penulis berkata atau yang lainnya
berkata : “Telah berkata suatu kaum -atau suatu jama’ah- demikian-demikian…,
dan pendapat ini merupakan kesalahan atau kekeliruan atau kebodohan atau
keteledoran dan semisalnya”, maka hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah
jika kita menyebutkan orang tertentu atau kaum tertentu atau jama’ah tertentu.
[22]
Ghibah itu bisa dengan perkataan yang jelas atau dengan yang
lainnya seperti isyarat dengan perkataan atau isyarat dengan mata atau bibir
dan lainnya, yang penting bisa dipahami bahwasanya hal itu adalah merendahkan
saudaranya yang lain. Diantaranya yaitu jika seseorang namanya disebutkan di
sisi engkau lantas engkau berkata: “Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah
menjaga kita dari sifat pelit”, atau “Semoga Allah ta’ala melindungi kita dari
memakan harta manusia dengan kebatilan”, atau yang lainnya, sebab orang yang
mendengar perkataan engkau itu faham bahwasanya berarti orang yang namanya
disebutkan memiliki sifat-sifat yang jelek.[23] Bahkan lebih parah lagi,
perkataan engkau tidak hanya menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu
dapat menjatuhkan engkau ke dalam riya’. Sebab engkau telah menunjukan kepada
manusia bahwa engkau tidak melakukan sifat jelek orang yang disebutkan namanya
tadi.
RIYA
Riya’
merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari
demam berdarah atau aids sekalipun. Sulit membedakan ibadah jaman sekarang yang
tidak bercampur ria
Suatu
ketika, di yaumil akhir, berlangsung pengadilan terhadap tiga orang laki-laki.
Yang pertama kali diadili adalah orang yang gugur sebagai syahid. Ia kemudian
dipanggil oleh Allah. Kepadanya kemudian diperlihatkan amal perbuatannya. Ia
pun mengakui perbuatannya ketika berperang membela agama hingga akhirnya gugur
sebagai syahid.
Kemudian
Allah bertanya: “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkannya (mati
syahid).”“Aku berperang demi (mendapat) ridha-Mu hingga aku gugur di medan
jihad,” jawab lelaki itu.“Kamu berdusta,” sergah Allah.
“Kamu
berperang agar dikatakan pemberani dan sungguh kamu telah mendapatkannya,”
sambung Allah lagi.
Kemudian
Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke dalam
neraka.Selanjutnya Allah memanggil orang yang kedua, yakni seorang lelaki yang
tekun menuntut ilmu dan mengajarkannya. Ia juga rajin membaca al-Qur’an.
Seperti yang pertama, ia pun diperlihatkan amal perbuatannya. Setelah ia
mengenalinya, Allah bertanya: “Apa yang telah kamu perbuat dengannya (menuntut
ilmu)?”
“Saya
menuntut ilmu, mengajarkannya kepada yang lain dan membaca al-Qur’an demi
Engkau, ya Allah,” jawab lelaki itu
“Kamu
berdusta!” kata Allah berfirman.
“Kamu menuntut
ilmu agar dibilang orang pandai dan kamu membaca al-Qur’an agar dikatakan
sebagai qori yang bagus (bacaannya), dan sungguh kamu telah memperolehnya,”
ungkap Allah.
Kemudian
Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.
Berikutnya
Allah mengadili orang yang ketiga yakni seorang lelaki yang dilapangkan dan
dikaruniai Allah kekayaan yang melimpah. Kepadanya diperlihatkan amal
perbuatannya. Iapun mengenalinya. Lalu Allah bertanya: “Apa yang kamu perbuat
terhadap harta bendamu?”
Lelaki
itu menjawab: “Saya tak pernah melewatkan kesempatan menafkahkan harta benda di
jalan-Mu dan itu saya perbuat demi Engkau, wahai Tuhanku”
Allah
berfirman: “Kamu berdusta! Kamu tidak melakukan itu semua kecuali dengan pamrih
agar kamu dibilang sebagai dermawan. Dan kamu telah mendapatkan semua yang kamu
inginkan."
Selanjutnya
Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.
Niat yang
Menentukan
Amal baik
belum tentu bernilai baik sebelum diketahui niatnya. Bisa saja manusia memberi
gelar pahlawan kepada seseorang yang memiliki keberanian dan tanggung jawab
yang besar dalam membela agama dan negaranya, akan tetapi Allah yang Maha
Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi. Maka Allah jualah yang akan memberikan
penilain-Nya tersendiri. Allah tidak menilai seseorang dari yang zhahirnya
saja, tapi juga dari yang tersembunyi yaitu niat atau motivasinya.
Bisa jadi
seseorang dihormati karena kedalaman ilmu dan keluasan wawasannya. Tapi di sisi
Allah, seorang ulama baru dianggap bernilai bila ia ikhlas dalam mencari ilmu
dan tulus ketika mengajarkan dan menyebarluaskannya. Ketika ada motivasi lain,
sekecil apapun, pasti terdeteksi oleh ke-Mahatahuan-Nya. Allah berfirman:
“
Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dan jika
kamu menampakkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 284) “
Demikian
pula halnya dengan orang kaya yang dermawan, belum tentu kedermawanannya
berkenan di hadapan Allah. Boleh jadi kemurahannya dalam memberi digerakkan
oleh niat-niat tertentu yang dapat merusak pahala sadaqahnya. Orang-orang yang
menerima sumbangannya tidak mengetahui niat orang tersebut, tapi Allah saw
selalui memonitor gerak hati seseorang. Dia menilai tidak sekadar dari
lahirnya, tapi lebih penting lagi adalah niatnya. Itulah sebabnya, niat dalam
ajaran Islam menempati posisi sentral dan sangat menentukan. Rasulullah saw
bersabda:Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan
sesungguhnya tiap tiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya.
Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu
ialah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrah karena ingin memperoleh
keduniaan atau untuk mengawini seorang wanita, maka hijrahnya adalah ke arah
yang ditujunya tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda
Rasulullah di atas dilatarbelakangi oleh pengaduan seseorang yang menyampaikan
bahwa di antara orang-orang yang hijrah ke Madinah menyusul hijrahnya
Rasulullah saw ada seseorang yang berhijrah karena ingin mengawini seorang
wanita yang bernama Ummu Qais. Pada mulanya lelaki itu ingin tetap tinggal di
Makkah, akan tetapi karena Ummu Qais yang hendak dinikahinya mengajukan syarat
bahwa ia mau dinikahi jika lelaki itu hijrah ke Madinah, maka akhirnya sang
lelaki itu terpaksa turut hijrah demi kekasihnya.
Dalam
kehidupan sehari-hari ada contoh yang sederhana. Di siang hari yang panas,
seorang lelaki masuk ke mesjid. Secara lahiriyah perbuatan itu sangat terpuji.
Akan tetapi siapa tahu niat yang tersembunyi dalam hatinya. Bisa jadi ia masuk
ke mesjid dengan niat untuk istirahat. Jika niatnya seperti itu, maka ia akan
memperoleh yang diniatkannya. Ia terhindar dari sengatan matahari dan terlepas
dari rasa penat. Lain halnya jika ia meniatkan untuk i’tikaf. Boleh jadi ia
mendapatkan kedua-duanya, yaitu pahala sekaligus istirahat yang cukup.
Dalam
kenyataannya, banyak sekali perbuatan manusia yang motivasinya campur aduk
antara ikhlas dan riya’. Misalnya, orang yang menunaikan ibadah haji seringkali
niatnya tidak semata-mata untuk ibadah, tapi jauh sebelum keberangkatannya
mereka sudah membuat rencana untuk membeli perhiasan, makanan, pakaian dan
oleh-oleh lainnya untuk disebarkan kepada kerabatnya di tanah air.
TAKABUR
Sebagai bekal yang lebih mendalam agar kita terdorong untuk selalu
menghindari sifat sombong (takabur), simaklah pembahasan berikut ini !Manusia
diciptakan oleh Allah SWT dengan bentuk yang sebaik-baiknya, bila dibandingkan
dengan makhluk-makhluk lain di dunia ini, manusia merupakan makhluk yang paling
baik bentuknya dan paling sempurna karena mempunyai akal. Bila dibandingkan
antara sesama manusia sendiri, maka di antara mereka ada kelebihan dan ada
kekurangannya. Tidak ada manusia yang paling sempurna bila dibandingkan dengan
yang lain. Oleh karenanya Allah SWT melarang manusia berlaku sombong karena di
balik kelebihan yang dimiliki, dia juga mempunyai kekurangan. Apalagi kelebihan
yang dimiliki oleh manusia adalah pemberian Allah SWT. Jadi, tidak ada alasan
untuk sombong. Berikut ini merupakan salah satu cerita Rasulullah saw. mengenai
orang yang sombong :
Percakapan antara Surga dan Neraka
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah
bersabda: Neraka bercakap-cakap dengan surga, isi percakapan itu adalah :
Neraka berkata: Aku akan dimasuki oleh orang yang zalim dan takabur (sombong).
Syurga berkata: Aku akan dimasuki oleh orang yang lemah dan miskin. Maka Allah
Azza Wa Jalla berfirman kepada Neraka: Kamu adalah siksaan-Ku. Aku akan menyiksa
siapa saja yang Aku kehendaki melaluimu. Allah berfirman: Aku gunakan kamu
untuk menimpakan bencana terhadap siapa saja yang Aku kehendaki. Allah
berfirman pula kepada surga: Kamu adalah rahmat-Ku. Aku akan berikan rahmat-Ku
melalui kamu kepada siapa saja yang Aku kehendaki. Kedua-dua dari kamu Aku akan
isi hingga penuh.
Sebagai bekal yang lebih mendalam agar kita terdorong untuk selalu
menghindari sifat sombong (takabur), simaklah pembahasan berikut ini !
A. Pengertian Takabur
Takabur adalah menganggap rendah orang lain, merasa lebih dibandingkan
dengan orang lain. Biasanya di pengaruhi oleh kekayaan, kedudukan, kecantikan,
ketampanan, kepandaian, dan sebagainya. Takabur merupakan sebagian dari sifat
tercela (madmunah), yakni sifat yang mengingkari kebenaran, bahkan menganggap
dirinya yang paling benar dan selalu merendahkan orang lain.
Mendengar kata dan istilahnya saja secara spontan tentu merasakan bahwa
sombong merupakan perbuatan yang tidak menyenangkan. Dan siapapun tentu tidak
senang bila berhadapan, bergaul, bahkan berkawan dengan orang yang sombong.
Tanyakan kepada diri kalian masing-masing, apakah ada yang betah bersahabat
dengan orang yang sombong ? Tentunya tidak ada yang suka sama sekali.
Namun, di sisi yang lain disadari atau tidak, terkadang seseorang
menampakkan sikap angkuh dan sombongnya. Apabila sikap sombong ini hanya
dilakukan sesekali, barangkali orang yang di sekelilingnya belum memberikan
predikat sebagai orang yang sombong. Predikat sombong ini biasanya baru
diberikan ketika perbuatan sombong itu berulang-ulang kali dilakukan dan
ditampakkannya, baik berupa sikap, perkataan, maupun cara bertingkah laku.
Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita menghindarkan diri dari sifat
dan perilaku sombong ini. Teladan seorang muslim adalah Rasulullah SAW. Beliau
adalah sosok manusia yang bergelimang kemuliaan dan kelebihan, namun beliau tidak
pernah sedikitpun merasa lebih. Bahkan para pengikutnya pun dipanggilnya dengan
sebutan “sahabat”. Sebutan sahabat ini mempunyai makna tersirat yakni
kesetaraan. Jadi, Rasulullah SAW sebagai pemimpin yang mempunyai derajat
tinggi, tetapi tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari para pengikutnya yang
disebutnya dengan sahabat itu.
Berkaitan dengan sifat
sombong ini Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan
masuk surga orang yang di dalam hatinya tersimpan sedikit saja kesombongan.
Lalu ada seorang sahabat berkata : sesungguhnya ada seseorang yang suka
berpakaian bagus dan sandalnya juga bagus. Rasulullah bersabda : sesungguhnya
Allah itu indah dan menyukai keindahan, sedangkan sombong itu menolak kebenaran
dan merendahkan orang”. (HR. Muslim).
Allah Berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.”
(Q.S. An-Nahl ayat 23 )
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan
masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Q.S. Al Mukmin ayat 60)
Sabda Rasulullah SAW : “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat
biji sawi dari sifat kesombongan.” (HR. Muslim)
B. Bentuk-bentuk Takabur
Sombong ada dua macam, yaitu sombong lahir (takabur zahir) dan sombong
batin (takabur batin). Sombong lahir yaitu perbuatan sombong yang dilakukan
oleh anggota badan dan jelas terlihat. Sombong batin yaitu sifat kesombongan di
dalam jiwa atau hati yang tidak terlihat.
Orang yang sombong tidak memiliki perasaan untuk mencintai dan menyayangi
sesama saudaranya yang mukmin sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Orang
yang sombong banyak memiliki sifat yang buruk, misalnya merendahkan orang lain,
pemarah, pembohong, khianat, dan sebagainya. Orang yang sombong tidak
segan-segan menggunakan hal-hal yang buruk untuk mempertahankan kemuliaannya.
Rasulullah saw
menjelaskan, bahwa ada dua macam sifat yang merupakan himpunan dari sifat
sombong, yaitu menolak kebenaran dan menghina orang lain, sebagaimana sabdanya
: “Sombong adalah (sifat) orang
yang mengingkari kebenaran dan menghina orang lain.” (HR. Abu Daud dan Hakim)
Itulah sifat orang yang sombong, ia senantiasa menolak kebenaran yang
dianggapnya akan merugikan dirinya dan menghina atau merendahkan orang lain.
Orang yang sombong sering lupa diri; siapa dia, dari mana, dan hendak ke mana
ia sebenarnya. Fir’aun adalah bukti sejarah dari seorang yang sombong yang
membanggakan pangkat dan kedudukannya sampai mendaulat dirinya sebagai Tuhan.
Perangai Fir’aun yang sombong itu benar-benar dan terangterangan menentang
Tuhan.
Orang yang sombong telah merampas suatu sifat yang sebenarnya tidak pantas
disandangnya karena sifat itu hanyalah milik Allah SWT. Perilaku orang yang
sombong ibarat seorang budak yang mengambil mahkota raja, kemudian ia
memakainya. Setelah itu ia duduk di singgasana raja bertingkah seperti raja
yang patut dihormati. Tentu saja sang raja sangat murka terhadap budak yang
kurang ajar itu dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat.
Banyak hal yang dapat memungkinkan seseorang terjerumus ke dalam
kesombongan, antara lain : keturunan, kekayaan harta, kepandaian atau ilmu
pengetahuan, kedudukan, kecantikan / ketampanan, kekuatan tubuh. Demikianlah
banyak celah yang dapat menjadikan seseorang bersifat sombong. Oleh sebab itu,
hendaklah kita memohon kepada Allah agar diberi petunjuk ke jalan yang benar
dan terhindar dari sifat sombong.
C. Akibat Negatif Takabur
Sifat takabur adalah sifat tercela yang harus di jauhi oleh setiap mukmin,
karena akan berakibat sangat fatal di antaranya :
Tidak mau menerima kebenaran
Tidak menyadari bahwa segala keberhasilan yang diperolehnya adalah karunia Allah
Menganggap rendah pada orang lain
Setan sudah menguasai dirinya
Tidak pernah bersyukur kepada Allah
Dalam pergaulan tidak disenangi oleh orang lain
Di akhirat hanya di neraka tempatnya
Tidak mau menerima kebenaran
Tidak menyadari bahwa segala keberhasilan yang diperolehnya adalah karunia Allah
Menganggap rendah pada orang lain
Setan sudah menguasai dirinya
Tidak pernah bersyukur kepada Allah
Dalam pergaulan tidak disenangi oleh orang lain
Di akhirat hanya di neraka tempatnya
D. Cara Menghindari Takabur
1. Memahami dan menyadari tentang bahaya takabur, baik bahayanya di dunia
maupun bahaya di akhirat nanti.
2. Menerima setiap nikmat maupun kelebihan yang dimiliki semata-mata karena
karunia Allah SWT.
3. Menyadari bahwa asal kejadian semua manusia adalah sama, yakni dari sel
sperma dan ovum. Yang mungkin manusia itu sendiri merasa jijik bila melihatnya.
Kalau kemudian menjadi makhluk yang sangat bagus bentuknya semua itu karena
kehendak dan kasih sayang dari Allah SWT, dan diri kita sendiri tidak pernah
memesannya kepada Allah SWT.
4. Berusaha untuk dapat bergaul dengan siapa saja denga baik, tanpa
membeda-bedakannya.
5. Segera
mengikis benih-benih kesombongan di dalam hati yang setiap saat dihembuskan
oleh setan, dengan cara membaca istighfar manakala kita menyadari telah berbuat
sombong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar