Latar Belakang Lahirnya Orde Baru
Setelah Gerakan 30 September 1965/PKI berhasil
ditumpas dan berbagai bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan mengarah pada PKI,
akhirnya ditarik kesimpulan PKI dituding sebagai dalang di belakang gerakan
itu. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat kepada PKI. Kemarahan rakyat itu
diikuti dengan berbagai demonstrasi-demonstrasi yang semakin bertambah gencar
menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massa (ormasnya) dan tokoh-tokohnya
harus diadili.
Sementara itu, untuk mengisi kekosongan pimpinan Angkatan
Darat, pada tanggal 14 Oktober 1965, panglima Kostrad / Pangkopkamtib Mayor
Jenderal Soeharto diangkat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat. Bersamaan
dengan itu juga dilakukan tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur
PKI dan ormasnya.
Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur
seperti kalangan partai politik, organisasi massa, perorangan, pemuda,
mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara serentak membentuk satu kesatuan aksi
dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung Gerakan 30
September 1965 / PKI yang diduga didalangi oleh PKI. Mereka menuntut
dilaksanakannya penyelesaian politis terhadap mereka yang terlibat dalam
gerakan itu. Kesatuan aksi yang muncul untuk menentang G30S/PKI di antaranya
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia
(KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia (KASI) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam
Front Pancasila kemudian lebih dikenal dengan sebutan Angkatan 66.
Mereka yang tergabung dalam Front Pancasila mengadakan
demontrasi di jalan-jalan raya. Pada tanggal 8 Januari 1966 mereka menuju
Gedung Sekretariat Negara dengan mengajukan pernyataan bahwa kebijakan ekonomi
pemerintah tidak dapat dibenarkan. Kemudian pada tanggal 12 Januari 1966
berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila berkumpul dihalaman
Gedung DPR-GR untuk mengajukan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang isinya
sebagai berikut:
- Pembubaran PKI beserta organisasi massanya.
- Pembersihan Kabinet Dwikora.
- Penurunan harga-harga barang.
Pada tanggal 15 Januari 1966 diadakan sidang paripurna
Kabinet Dwikora di Istana Bogor. Dalam sidang itu hadir para wakil mahasiswa.
Presiden Soekarno menuduh bahwa aksi-aksi mahasiswa itu didalangi oleh CIA (Central
Intelligence Agency) Amerika Serikat. Kemudian pada tanggal 21 Februari
1966, presiden Soekarno mengumumkan perubahan kabinet. Ternyata perubahan itu
tidak memuaskan hati rakyat, karena banyak tokoh yang diduga terlibat dalam G30S
/ PKI masih bercokol di dalam kabinet baru yang terkenal dengan sebutan Kabinet
Seratus Menteri.
Pada saat pelantikan kabinet tanggal 24 Februari 1966,
para mahasiswa, pelajar, dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka.
Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa. Hal ini menyebabkan terjadinya
bentrokan antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang menyebabkan
gugurnya seorang mahasiswa bernama Arif Rahman Hakim.
Atas kematian Arif Rahman Hakim itu membuat suasana
makin lama makin memburuk. Sayang pemerintah tidak mengambil tindakan yang
tegas terhadap kejadian itu. Akhirnya demonstrasi semakin menjadi-jadi dan
pengganyangan terhadap PKI berlangsung di mana-mana. Akhirnya pemerintah
Soekarno kewalahan. Sedangkan kepercayaan kepada Mayor Jenderal Soeharto masih
dirong-rong oleh presiden Soekarno. Beliau masih berusaha untuk mengelak
memperjelas keterlibatan PKI. Aksi-aksi mahasiswa dan siswa ini tidak saja
terjadi di ibu kota Jakarta tetapi menjalar ke seluruh kota besar dan kecil di seluruh
tanah air yang mendapat dukungan dari masyarakat dan ABRI. Aksi mahasiswa dan
pelajar ini semakin jelas tujuannya. Mereka menginginkan agar pemerintah segera
memperbaiki keadaan, terutama keadaan ekonomi dan keamanan.
Latar Belakang Lahirnya Tritura
- Di Bidang Politik
Seperti telah diketahui, PKI sejak dulu ingin
mendirikan negara Komunis di Indonesia. Keinginan ini mendapat tantangan dari
rakyat Indonesia, terutama para perwira ABRI. Mereka ingin satu saja ideologi
di Indonesia. Ideologi itu ialah Pancasila dasar negara kita. Bila PKI
berkuasa, maka ideologi Pancasila pasti akan dihapuskannya. Apalagi ajaran
komunis itu sangat tidak sesuai dengan kepribadian kita. Indonesia adalah
negara Pancasila.
- Di Bidang Ekonomi
Menjelang lahir Tritura, keadaan ekonomi Indonesia
sangat parah. Di mana-mana terjadi kelaparan. Tidak ada lapisan mayarakat yang
hidup berkecukupan. Mereka yang terlihat agak baik kehidupannya adalah
orang-orang yang mendapat fasilitas dari PKI atau orang-orang yang bersekongkol
dengan partai itu. Kebutuhan sepuluh bahan pokok, yaitu kebutuhan sehari-hari
dikuasai oleh pemerintah. Akhirnya kebutuhan itu berada di tangan orang-orang
PKI yang ikut berkuasa dalam pemerintahan Presiden Ir. Soekarno. Dari sepuluh
bahan pokok itu yang paling utama ialah sandang dan pangan. Oleh karena
kebutuhan sepuluh bahan pokok itu dikuasai oleh pemerintah, maka kepada rakyat
diberikan jatah beras, sandang atau pangan. Dalih pemerintah Ir. Soekarno pada
waktu itu ialah agar kita berhemat, sebab revolusi belum selesai.
- Di Bidang Pemerintahan
Dalam lembaga pemerintahan sebagian masih terdapat
orang yang berpaham komunis. PKI belum dibubarkan. Jenderal Soeharto sangat
hati-hati akan situasi ini. Ia masih harus memerlukan waktu untuk menentukan
mana kawan dan mana lawan. Bila tidak diambil tindakan yang bijaksana,
akibatnya akan bertambah buruk, apalagi keadaan bertambah buruk lagi, ketika
Ir. Soekarno menolak untuk mengeluarkan orang-orang Komunis atau PKI yang duduk
di lembaga pemerintahan.
DPRGR masih menampung orang-orang PKI. Keadaan seperti
ini menambah sulitnya keadaan. Apalagi orang-orang yang diangkat oleh Presiden
Soekarno menjadi para menteri masih dipenuhi oleh oknum-oknum PKI dan
organisasi yang seazas. Keadaan seperti ini harus dibersihkan. Demikianlah aksi
mahasiswa dan masyarakat. Seluruh rakyat menuntut agar kabinet harus
dibersihkan dari tangan-tangan orang PKI yang telah nyata terlibat dalam
Gerakan 30 September 1965 atau G.30 S/PKI. PKI dan antek-anteknya mempunyai
dasar dan pandangan hidup bangsa PANCASILA.
KAMI Dibubarkan
Setelah mempelajari situasi negara yang sangat penting
itu Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Kostrad, Komando Keamanan dan
Pemulihan Keamanan mulai mencari langkah yang bijaksana untuk mengatasinya. Sementara
itu aksi mahasiswa meningkat terus yang ditunjukkan langsung kepada Pendukung
Soekarnoisme (BPS). Hal ini tentu sangat berbahaya, sebab sudah ada dua
golongan yang akan saling bermusuhan. Tetapi berkat kebijaksanaan Mayor
Jenderal Soeharto keadaan dapat diatasi. BPS hilang dengan sendirinya dan KAMI
seolah-olah mendapat angin. Semua komponen dalam kesatuan aksi itu bekerjasama
dengan ABRI selaku pelindung dan pembela rakyat. Pada tanggal 26 Februari 1966,
KAMI dibubarkan oleh Presiden Soekarno, tetapi aksi Tritura tetap dilanjutkan.
Rakyat tetap berdiri disamping pemimpinnya. Walaupun Mayor Jenderal Soeharto
telah mempunyai konsep untuk menenangkan suasana, akan tetapi belum dapat
berbuat banyak Karena atasannya masih ada yaitu Presiden Soekarno. Oleh sebab
itu perlu dicari waktu yang tepat.
Dari KAMI yang dibubarkan, perjuangan berpindah secara
estafet kepada KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Demonstrasi
bertambah hebat. Suasana semakin memuncak. Jakarta berada dalam keadaan demam
revolusi. Penyerangan Cakrabirawa ke U. I. di gagalkan oleh Jenderal Soeharto
dengan menempatkan pasukan Kostrad di sana. Puncak kejadian ialah tanggal 11
Maret 1966, sewaktu Soekarno memimpin kabinet di istana negara, tiba-tiba
Ajudan Presiden, Kolonel Bambang Wijarno menyampaikan laporan kepada Presiden,
bahwa pasukan tentara yang tak dikenal kesatuannya, sedang menuju istana.
Soekarno terkejut, lalu menyerahkan pimpinan sidang kepada Dr. Leimena,
kemudian lari terbirit-birit menuju helikopter yang berada di halaman istana.
Wakil-wakil Perdana Menteri Dr. Soebandrio dan Chairul Saleh mengikut di
belakang. Mereka bertiga terbang ke Bogor.
Jenderal Soeharto mengirim delegasi ke Bogor untuk
bermusyawarah dengan Presiden. Delegasi itu terdiri dari tiga Jenderal, yaitu
AMIRMACHMUD, BASUKI RACHMAT dan M. JUSUF. Musyawarah menghasilkan Surat
Perintah 11 Maret yang berisi tentang pemindahan kekuasaan eksekutif dari
presiden Soekarno kepada Jenderal SOEHARTO. Berdasarka Surat Perintah 11 Maret
ini, Jenderal Soeharto mengeluarkan keputusan membubarkan PKI atas nama
Presiden, Keputusan ini sangat mengejutkan Soekarno.
Dalam pada itu
Jenderal Soeharto berusaha dengan gigih meyakinkan Soekarno bahwa sebagian
pembantu-pembantunya dalam kabinet yang menjadi tuntutan massa demonstran-demonstran,
antaranya Dr. Soebandrio, tidak mungkin dipertahankan lagi. Presiden Soekarno
sudah dapat memahami dan menerima keadaan itu. Tetapi pada tanggal 16 Maret
1966, tiba-tiba Presiden Soekarno mengeluarkan pengumuman, yang isinya pada hakekatnya
mencabut isi dari Surat Perintah 11 Maret 1966. Pengumuman Presiden Soekarno
ini sangat mengejutkan Jenderal Soharto dan para Panglima militer, serta
membangkitkan kemarahan massa kembali
Jenderal Soeharto bertindak mendahului massa, sehingga
keadaan tetap dikuasai. Pada tanggal 18 Maret 1966 dikeluarkan Surat Keputusan
atas nama Presiden oleh Jenderal Soeharto, menangkap dan menahan lima
belas Menteri, serta menunjuk penggantinya sekali. Tindakan Jenderal Soeharto
yang mendahului massa ini, sangat mencengangkan. Jenderal Soeharto yang tadinya
diduga dan dituduh lamban, ternyata seorang yang bertindak tepat pada waktunya,
dengan perhitungan yang masak. Kekuatan Presiden Soekarno sudah habis. Menurut
hukum revolusi, riwayatnya sudah tamat, dan Presiden Soekarno sudah tidak ada
lagi. Kekuasaan sudah berada dalam tangan Jenderal Soeharto.
Sementara itu
Jenderal Soeharto telah berusaha menyempurnakan MPRS, DPRGR, DPA dan Lembaga
Pemerintah Pusat yang lain. Dengan cara begini, ia telah mengambil langkah-langkah
untuk memberikan nafas bagi kehidupan demokrasi kembali, setapak demi setapak,
sesuai dengan kemungkinan. Pada tanggal 20 Juni 1966, sampai tanggal 6 Juli
1966, diadakan sidang MPRS, yang ke-IV di Jakarta. Presiden Soekarno sebagai
Kepala Negara, diminta memberikan laporan kepada sidang, mengenai pemberontakan
G 30 S yang gagal. Pemberian laporan pertanggungan jawab oleh Presiden Soekarno
itu, sekaligus juga merupakan langkah mematuhi UUD 45.
Perkembangan Kekuasaan Orde
Baru
Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)
Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak menentu dan sulit terkendali itu.
Dengan berkuasanya Soeharto sebagai pemegang tampuk pemerintahan di negara
Republik Indonesia sebagai pengganti Presiden Soekarno, maka dimulailah babak
baru yaitu sejarah Orde Baru.
Pada
hakikatnya, Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan
negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, atau
sebagai koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di masa
lampau. Di samping itu juga berupaya menyusun kembali kekuatan bangsa untuk
menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan
bangsa.
Permulaan tahun 1967 suasana bertambah panas lagi.
Mahasiswa-mahasiswa turun ke jalan kembali, dengan sasaran yang terang, yaitu
Soekarno. Pada tanggal 23 Januari 1967, Jenderal Soeharto mengeluarkan
pengumuman yang bernada keras, terhadap kontra-kontra Orde Baru. Dalam
pengumuman itu, ditegaskan bahwa kesabaran yang diperlihatkan Angkatan Bersenjata
dalam menghadapi bencana Gestapu/PKI akan sampai pada batasnya: “Di saat itu
kita akan menarik garis yang jelas antara kita dan mereka yang berdiri di luar
garis yang telah ditentukan oleh MPRS. Barulah di waktu itu, kita akan
mengambil langkah-langkah yang tegas dan tindakan yang keras terhadap
siapapun”.
Setelah peristiwa G30S / PKI, negara Republik
Indonesia dilanda instabilitas politik akibat tidak tegasnya kepemimpinan
Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan atas peristiwa itu. Sementara itu,
partai-partai politik terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang saling
bertentangan, antara penentang dan pendukung kebijakan Presiden Soekarno.
Selanjutnya, terjadilah situasi konflik yang membahayakan persatuan dan
keutuhan bangsa.
Melihat situasi konflik antara masyarakat pendukung
Orde Lama dengan Orde Baru semakin bertambah gawat, DPR-GR berpendapat bahwa
situasi konflik harus segera diselesaikan secara konstitusional. Pada tanggal 3
Februari 1967 DPR-GR menyampaikan resolusi dan memorandum yang berisi anjuran
kepada ketua Presidium Kabinet Ampera agar diselenggarakan Sidang Istimewa
MPRS.
Pada tanggal 20 Februari 1967, Presiden Soekarno
menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto. Penyerahan kekuasaan dari
Presiden Soekarno kepada Soeharto dikukuhkan di dalam sidang Istimewa MPRS.
MPRS dalam ketetapannya No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan
negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden
Republik Indonesia. Dengan adanya ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang
merupakan sumber instabilitas politik telah berakhir secara konstitusional.
Sekalipun situasi konflik berhasil diatasi, namun
kristalisasi Orde Baru belum selesai. Untuk mencapai stabilitas nasional
diperlukan proses yang baik dan wajar, agar dapat dicapai stabilitas yang
dinamis, yang mendorong dan mempercepat pembangunan. Proses ini dimulai dari
penataan kembali kehidupan politik yang berlandaskan kepada Pancasila dan UUD
1945.
Usaha penataan kembali kehidupan politik dimulai pada
awal tahun 1968 dengan penyegaran DPR-GR. Penyegaran ini bertujuan untuk
menumbuhkan hak-hak demokrasi dan mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada di
dalam masyarakat. Komposisi anggota DPR terdiri dari wakil-wakil partai politik
dan golongan karya. Tahap selanjutnya adalah penyederhanaan kehidupan
kepartaian, keormasan dan kekaryaan dengan cara pengelompokkan partai-partai
politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai tahun 1970 dengan mengadakan
serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai politik. Hasilnya lahirlah
tiga kelompok di DPR yaitu:
- Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari parta-ipartai PNI, Parkindo, Katolik, IPKI, serta Murba.
- Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai-partai NU, Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan Perti.
- Sedangkan kelompok organisasi profesi seperti organisasi pemuda, organisasi tani dan nelayan, organisasi seniman dan lain-lain tergabung dalam kelompok Golongsan Karya.
Selanjutnya pemerintah Orde Baru memurnikan kembali
politik luar negeri yang bebas-aktif. Politik konfrontasi dengan Malaysia
dihentikan. Normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia berhasil dicapai dengan
ditandatanganinya Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966. Kemudian
pemerintah memutuskan untuk kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28
September 1966, guna mengembalikan kepercayaan dunia internasioanal serta
menumbuhkan saling pengertian yang sangat bermanfaat bagi pembangunan. Di
samping itu, untuk mempererat dan memperluas hubungan kerja sama regional
bangsa-bangsa Asia Tenggara, pada tanggal 8 Agustus 1967 Deklarasi Bangkok
berhasil ditandatangani. Dengan ini, lahirlah Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara atau Association of South East Asian Nation (ASEAN).
Perhimpunan ini beranggotakan Indonesia, Muangthai, Malaysia, Singapura, dan
Filipina.
Kebijakan Pemerintahan Orde Baru
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa
Indonesia, langkah selanjutnya yang ditempuh oleh pemerintah adalah
melaksanakan Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional yang diupayakan pada
zaman Orde Baru direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka pendek dirancang melalui
Pembangunan Lima Tahun (pelita). Setiap pelita memiliki misi pembangunan dalam
rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.[5]
Untuk memberikan arah dalam usaha mewujudkan tujuan
nasional tersebut, maka MPR telah menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) sejak tahun 1973, yang pada dasarnya merupakan pola umum pembangunan
nasional dengan rangkaian program-programnya. GBHN dijabarkan dalam Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang berisi program-program konkret yang akan
dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun. Pelaksanaan Repelita telah dimulai
sejak tahun 1969.
Proses Menguatnya Peran Negara Pada
Masa Orde Baru
Sejak Orde Baru berkuasa, telah banyak perubahan yang
telah dicapai oleh bangsa Indonesia melalui tahap-tahap pembangunan di segala
bidang. Pemerintah Orde Baru berusaha meningkatkan peran nagara dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, langkah yang dilakukan pemerintah
Orde Baru adalah menciptakan stabilitas ekonomi politik. Tujuan perjuangan Orde
Baru adalah menegakkan tata kehidupan negara yang didasarkan atas kemurnian
pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Pada Sidang umum IV MPRS telah diambil
suatu keputusan untuk menugaskan Jenderal Soeharto selaku pengemban Surat
Perintah Sebelas Maret atau Supersemar, yang sudah ditingkatkan menjadi
ketetapan MPRS No. IX/MPRS 1966 untuk membentuk kabinet baru.
Pembentukan kabinet baru ini dinamai Kabinet Ampera.
Kabinet Ampera dibebani tugas untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi
sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Tugas itulah yang
kemudian dikenal dengan sebutan Dwi Darma Kabinet Ampera. Adapun program
yang dibebankan oleh MPRS kepada kabinet Ampera adalah:
1. Memperbaiki kehidupan rakyat
terutama di bidang sandang dan pangan.
2. Melaksanakan Pemilihan Umum dalam
batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 yakni 5
JUli 1968.
3. Melaksanakan politik luar negeri
yang bebas aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No.
XI/MPRS/1966.
4. Melanjutkan perjuangan anti
imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Keempat program Kabinet Ampera ini disebut Catur Karya
Kabinet Ampera. Program ini dijalankan oleh pemerintah Orde Baru. Pada tanggal
21 Maret 1968, Jenderal Soeharto selaku Pejabat Presiden menyampaikan laporan
kepada Sidang umum V MPRS mengenai pelaksanaan Dwi Darma dan Catur Karya
Kabinet Ampera. Pertama kali dilaporkan bahwa telah dilaksanakan usaha
mendudukkan kembali posisi, fungsi dan hubungan antar lembaga negara tertinggi
sesuai dengan yang diatur dalam UUD 1945. Menurut UUD 1945, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) memegang kekuasaan tertinggi dalam negara Republik
Indonesia. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada dibawah MPR.
Pada masa Orde Baru tatanan kehidupan kenegaraan
dikembalikan kepada kemurnian pelaksanaan UUD 1945, hal itu terlihat pada
peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dimana Presiden Soeharto berbicara
langsung di hadapan wakil-wakil rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pidato kenegaraan Presiden Soeharto selalu diucapakan di depan sidang DPR.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa,
peristiwa 30 September 1965 Tragedi Berdarah dalam sejarah bangsa Indonesia
membawa masyarakat Indonesia untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan
bernegara kembali kepada ideologi Pancasila dan UUD 1945. Dan keinginan untuk
melaksanakan secara murni dan konsekwen Ideologi negara Pancasila dan UUD 1945.
Dalam peristiwa tanggal 30 September 1965 ini telah membawa korban rakyat
banyak, dan para pemimpin bangsa diantaranya tujuh orang Perwira Tinggi
Angkatan Darat. Tuntutan masyarakat terhadap aksi Gerakan 30 September semakin
meningkat. Hal ini menimbulkan tekanan berat bagi Pemerintah Soekarno untuk
memberikan perintah kepada Letnan Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat
untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah. Dalam menjalankan tugas Letnan
Jenderal Soeharto juga harus melaporkan segala sesuatu kepada Presiden
Soekarno, mandat itu dikenal dengan nama Supersemar.
Kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa
Orde Baru ini adalah: menghentikan konfrontasi dengan Malaysia, memprakarsai
terbentuknya ASEAN, keikutsertaan Indonesia dalam Organisasi Internasional.
Kebijaksanaan politik dalam negeri Indonesia pada masa Orde Baru diantaranya
adalah: melasanakan pemilu, penataan dalam bidang Pemerintahan mulai dari
Tingkat Pusat sampai ke bawah, melaksanakan berbagai sektor pembangunan dalam
negeri seperti: sektor ekonomi, sosial, dan budaya.